Press Release :
Kemerdekaan RI dan Urgensi Gotong Royong
Intelektual Bangsa
Peringatan Hari
Kemerdekaan RI ke-73 mengangkat tema “Kerja Kita, Prestasi Bangsa”. Tema
tersebut bisa terwujud secara efektif dan menggelora di
seluruh persada Indonesia jika terbentuk platform gotong royong para intelektual bangsa.
Sesuai dengan sektor pembangunan manusia Indonesia. Selama ini para intelektual
bangsa lebih asyik kerja sendiri dan terlalu sibuk dengan ego dan ambisinya.
Etos kerja gotong
royong para intelektual bangsa yang
sesuai dengan kemajuan Iptek perlu segera diwujudkan. Agar progres kemajuan
bangsa tidak tesendat dan indeks daya saing SDM bangsa makin meningkat.
Slogan Kerja Kita,
Prestasi Bangsa disemangati oleh nilai tradisi keIndonesiaan yang telah membumi
berabad-abad. Esensi kerja kita adalah kerja bersama, dalam nilai tradisi disebut "holopis kuntul baris". Identik dengan perilaku
gotong royong ajaran leluhur bangsa. Lalu diformulasikan secara ideologis oleh
Presiden RI pertama Soekarno.
Gotong royong mesti
tulus memikul beban bersama, menikmati bersama secara murah meriah dan guyup.
Perlu merumuskan arah dan platform gotong royong sebagai energi kolektif
kebangsaan untuk hadapi persaingan global yang makin sengit.
Menurut Bung Karno
gotong-royong merupakan pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat
bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal
semua buat kepentingan semua. Dalam konteks zaman sekarang gotong royong
memiliki arti yang luar biasa bagi kemajuan bangsa jika kaum intelektual mampu
bersinergi dan menghilangkan eksklusifisme dan egoisme sektoral.
Gotong royong
bukanlah sesuatu yang sudah jadi atau given. Gotong-royong memerlukan rekayasa
dan pembangunan manusia untuk mencetak SDM terbarukan yang sesuai dengan
kemajuan zaman. SDM terbarukan memiliki daya kreatif dan inovasi yang lebih
unggul dari generasi sebelumnya.
Perlu platform
gotong royong para intelektual bangsa yang sesuai dengan tantangan zaman. Pada
saat Kemerdekaan RI dikumandangkan, SDM bangsa yang mampu memutar roda
organisasi negara masih sangat sedikit. Namun begitu dalam hitungan bulan
setelah hari merdeka para pemuda yang notabene SDM bangsa mampu mengambil alih
lembaga penting dari tangan penjajah. Lalu mereka dengan penuh tekad bergotong
royong berusaha menjalankan aktivitas berbagai lembaga dan badan usaha yang
dibutuhkan oleh negara.
Sebulan setelah hari
kemerdekaan, angkatan muda kereta api mengambil alih sektor perkeretaapian.
Kemudian disusul oleh sektor pos dan telekomunikasi, perminyakan, dan sektor
lainnya. Begitu juga dengan kebutuhan untuk SDM pertahanan untuk bela negara.
Setelah perang
kemerdekaan para petinggi TNI banyak merekomendasikan pengiriman anggota TRIP untuk kuliah di luar negeri.
Setelah berhasil kuliah mereka kembali ke Tanah
Air dan berperan penting untuk membenahi perguruan tinggi di dalam negeri yang
sebelumnya dikelola oleh ilmuwan Belanda. Seperti contohnya Profesor Suwondo B.
Sutedjo, Dipl. Ing yang sebelumnya adalah anggota TRIP Divisi Ronggolawe. Yang
berhasil menyelesaikan studinya pada Technische Hochshule di Hanover Jerman.
Sekembali ke Indonesia Suwondo membenahi dan mengajar di Institute Teknologi
Bandung (ITB).
Kini postur
intelektual bangsa semakin banyak jumlahnya. Namun begitu bila dibandingkan
dengan negara maju prosentasenya masih kurang memadai. Mereka memiliki tugas
sejarah untuk bergotong royong lewat pikiran dan tenaga demi mewujudkan manusia
Indonesia yang cerdas, unggul dan bekelas dunia.
Peringatan Hari
Kemerdekaan ke-73 menjadi spirit untuk mendongkrak indeks daya saing SDM dan
terus mengembangkan kapasitas inovasi. Apalagi proses inovasi sarat kerja
gotong royong dan membutuhkan SDM unggul
dalam jumlah besar.
Pemerintahan
Presiden Joko Widodo bertekad mulai 2019 pembangunan bangsa menekankan
pengembangan sumber daya manusia (SDM). Struktur Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2019 dan tahun berikutnya difokuskan untuk membenahi SDM
bangsa lewat penguatan keahlian dan produktivitas.
Platform gotong
royong intelektual bangsa diharapkan bisa menjadi ujung tombak untuk
mendongkrak indeks daya saing SDM bangsa. Masyarakat prihatin melihat indeks
GTCI 2018, dimana bangsa Indonesia menduduki peringkat ke-77, masih kalah
dengan negara tetangga. Indonesia berada di urutan ke-77 dari total 119 negara
di dunia dalam peringkat Global Talent Competitiveness Index (GTCI) 2018.
Sebagai perbandingan
Malaysia di peringkat 27, Filipina di posisi 54, Thailand di peringkat 70. GTCI
merupakan laporan komprehensif tahunan yang dapat dijadikan indikator untuk
mengukur bagaimana suatu negara menyediakan sumber daya manusia untuk
meningkatkan daya saing mereka.
Dalam mengukur
indeks GTCI, lima pilar yang digunakan antara lain enable, atau keberagaman
dalam pengetahuan, pengalaman, dan cara menyelesaikan masalah. Pilar kedua dan
ketiga adalah attract atau kemampuan menarik sumber daya asing, dan grow atau
kemampuan untuk meningkatkan kompetensi diri melalui pendidikan dan pelatihan.
Sementara dua pilar lainnya yang digunakan sebagai penilaian adalah pendidikan
vokasional dan teknikal serta pengetahuan global.
Para
intelektual bangsa mesti memiliki modal alamiah berupa portofolio kompetensi
serta daya kreativitas dan inovasi. Modal itu untuk mewujudkan kepemimpinan
unggul khususnya kepemimpinan dalam domain Iptek dan dunia usaha.
Platform
gotong royong intelektual bangsa perlu masive action berupa program mentorship di seluruh pelosok Tanah Air.
Menurut Lowenstein & Bradshaw, Mentorship adalah suatu bentuk sosialisasi
untuk peran profesional yang mendorong pencapaian program nasional. Perjalanan bangsa saat ini diwarnai bermacam
disrupsi teknologi dan datangnya era Industri 4.0. Generasi zaman sekarang
perlu navigasi dan pembekalan agar termotivasi serta
mampu bersaing secara global.
Atas perhatian
dan kerjasama antara IABIE dan rekan-rekan jurnalis media massa, baik media
cetak maupun elektronik, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Jakarta, 15 Agustus
2018
Ketua Umum
IABIE Sekretaris
JenderalBimo Joga Sasongko Irwan Prasetyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar